Jumat, 25 Juli 2014

Secangkir Pagi



Malam tadi aku tidur tak terlalu nyenyak. Banyak kelebatan mimpi yang datang dan tak kuingat tentang apa.
Aku mengenyahkan segala pikiran burukku tentang wanita yang semalam kubaca pesannya lewat ponselmu. Entah memang benar atau hanya perasaanku saja kalau kau memang sedang menjalin suatu hubungan dengannya. Bukannya aku menentang, hanya saja aku pikir suatu saat akan ada tempat untuk ku berteduh di hatimu.
Asap kopi mengepul dari cangkir putih yang kuletakkan di atas meja kayu ruang tengah. Aku meniup-niup dan menyapnya perlahan. Aku penikmat kopi panas dan suka sekali bila sendok pengaduk dibiarkan di dalam cangkir sampai kopi itu habis. Berbeda denganmu yang selalu membiarkan kopimu setengah panas dan meneguknya sekalian. Aku benci mengenalmu terlalu detail. Terkadang aku merasa seperti follower yang mengikuti kebiasaan-kebiasaan kecilmu seperti membersihkan sendokku sebelum digunakan (padahal sudah bersih), mecium makanan sebelum dicoba bahkan aku sekarang mulai membaca buku-buku arsitektur seperti yang kau sukai.
Biasanya kau sudah memarkirkan vespa kunomu dan mulai marah-marah bertapa berantakannya aku dengan sandal dan sepatu yang berantakan di rumah kontrakanku ini. Kini yang ada hanya beberapa daun mangga yang jatuh dan butiran-butiran kuning kecil yang menandai akan munculnya buah baru. Sudah dua jam kau terlambat dari biasanya dan mungkin ini akan menjadi kebiasaan baru yang harus kuterima.


Pagi seperti yang lalu-lalu.
Aku menyesap kopiku, masih dengan sendok yang dibiarkan di dalam cangkir. Aku memandangimu yang bernyanyi merdu dan sesekali menyebut nama wanita itu dalam lagumu.
Aku pun tersenyum dan tertawa.
Palsu.
Jadi belakangan ini sering kali aku berpura-pura di depanmu.
Hanya dengan itu aku masih bisa menikmati lagumu.
Hanya dengan itu masih bisa menatap senyummu.
Dan hanya dengan itu aku masih bisa merindu aroma tubuhmu.
Ada cerita yang akan selalu kusimpan sendiri. Cerita tentang wanita pengecut si pengagum gelap. Mencintai tanpa mampu mengungkap perasaannya. Pada lelaki yang terlalu dekat sampai merasa seperti saudara-tapi bukan.
Dan bila kita dipertemukan dengan cara berbeda, aku janji, aku akan mengucap cinta..
Aku mencintaimu…



Kamis, 10 Juli 2014

Cerita Sendu Si Gadis Perindu



Menatap sendunya senja sore itu dengan secangkir teh buatan ibuku dan lagu yang bersenandung merdu. Aku menyingkap gorden beludru ungu yang berada dihadapanku, melahap sore itu dengan penuh takjub. Tak pernah kuduga aku akan merasa seberuntung ini. Bunga-bunga di ujung meja sana sudah tampak mengering, lupa aku suruh perawat kemarin membuangnya.

Aku menggerakkan kursi rodaku beberapa senti ke depan dan kurasakan semakin ringan dengan bantuanmu. Ah, beruntung benar rasanya memiliki seorang ibu, yang selalu mengerti kekuranganku dan aku tahu kebanyakan ibu memang begitu. Mereka terlalu cemas dengan anak-anaknya.
Tak pernah kubayangkan ada hal yang begitu cepat perubahannya.  Sejak pria berjas putih yang kusebut dokter itu mendiagnosisku mengidap penyakit radang sendi. Dan orang ini membelikanku kursi roda, agar aku tetap dapat tetap mandiri katanya. Selebihnya aku sangat mengerti bahwa ia tak ingin aku merasa bahwa aku sedang sakit.

Kemarin ibuku membawaku ke salon dekat dengan rumah sakit dan memotong pendek rambutku. Sebelumnya ia bersikeras kalau rambutku harus panjang karena terlihat cantik katanya. Cantik itu dari hati, aku selalu bersikeras begitu. Terkadang aku sedih melihat ibuku yang termenung sendiri. Ia memikirkanku, aku tahu itu. Seorang gadis 25 tahun yang harus membuang cita-citanya sementara atau bahkan selamanya, karena tak dapat melakukan aktivitas seperti orang kebanyakan. Sedikit saja aktivitas berat membuat lututku berdenyut-denyut dan membengkak kemudian. Begitu seterusnya. Jadi aku selalu berusaha melakukan aktivitas dengan tingkat lelah seminimal mungkin.

Sampai akhirnya aku berada pada titik yang hanya menghabiskan waktu tanpa membuat memori yang baru…

Kata dokter besok aku sudah boleh pulang, perawatan di rumah sakit tak kan banyak membantu karena tidak ada obat untuk penyakitku. Dokter bilang aku harus berdiet dan mengurangi beberapa kilogram bobot tubuhku. Terdengar sepele, hanya berdiet. Tapi bayangkan saja berdiet tapi kau tak boleh melakukan aktivitas berat. Olahraga pun tak disarankan karena akan memperparah keadaan lututku. Tapi paling tidak aku akan pulang kerumah. Pergi dari suasana rumah sakit yang selalu membuatku merasa kesepian.

Aku rindu rumah…

Aku rindu kepulan asap rokok ayahku dan aroma kopinya tiap pagi

Aku rindu omelan ibuku bila aku tak menghabiskan sarapanku

Aku, aku juga rindu kamu…



note : Teruntuk seorang teman yang selalu menginspirasi saya, tersenyumlah kawan, hidup ini akan selalu indah...

Minggu, 27 April 2014

Gores cerita kehidupan

Setiap orang punya cara sendiri menggoreskan cerita dengan pena takdir yang diberikan.
Entah bagaimana caraku menggoreskan dan meniti cerita demi cerita dalam kehidupanku.
Boleh dikatakan tiada keistimewaan yang aku punya. Kekayaan yang kunikmati bukan sepenuhnya milikku jua.
Mengapa Tuhan begitu mengasihiku dan memberi cerita yang begini mengharukan.
Dalam setiap cobaannya ia menyisipkan kebahagiaan-kebahagiaan tak ternominal.
Begitu cintanya Ia padaku sampai menegurku dengan hantaman-hantaman kecil yang selalu harus aku ambil hikmahnya.

Apakah begini yang semua manusia rasakan?
Berpijak untuk menggoreskan sebuah cerita hidup?
Ataukah seharusnya kita hidup untuk mengumpulkan nominal saja?
Atau hidup ini biar saja berjalan datar tanpa cerita di dalamnya?

Jikalau suatu kehidupan manusia hanyalah membayar hutang masa lalu, aku tak berjanji dapat melakukan hal yang lebih baik
Aku percaya semua proses kehidupan selayaknya sebuah buku.
Kau yang mengukir, kau yang pertama membaca.

_28.04.14_

Senin, 17 Maret 2014

Pertemuan Terakhir

Aku pikir kita tak akan bertemu lagi. . .



Panas menyengat siang itu cukup menyedot moodku yang memang sedang buruk-buruknya. Deadline yang belum kukerjakan, terlambat karena  traffic jam pagi itu dan hal-hal sepele seperti baju yang kurang match-ing karena atasan krem favoritku tiba-tiba ketumpahan kopi semenit sebelum aku berangkat, yang terpaksa aku ganti dengan baju seadanya alias yang paling cepat terlihat mata. Tak seburuk itu sebenarnya, cuma kurang match dengan sepatu 7cm cokelat muda yang aku pakai hari itu.

Sebenarnya memang aku sudah berharap-harap hari itu akan jadi hari yang biasa-biasa saja, tidak bertemu denganmu tentunya. Sudah lama nampaknya kita tak bersua. Mungkin ada kerinduan, sedikit.

Rasa-rasanya aku menulis terlalu gamblang tentang apa yang terjadi siang itu. Kau yang datang tiba-tiba (lagi), aku yang (masih) tak sanggup bertemu denganmu dan kecanggungan kita saat ini. Aku buru-buru membayar bon kopiku. Aku tak berani menatapmu, hanya mencuri pandang sedikit saja.

Beberapa bulan perjuangan melupakanmu membias sudah.
Aku ingat aku pernah ingin selalu menatapmu lebih lama.  Juga mengikuti gerak tingkahmu dengan sudut mataku. Tanganmu yang menari-nari ketika menjelaskan sesuatu selalu membuatku tertawa, juga leluconmu yang selalu membuatku berpura-pura kesal.

Ada memori yang pernah ingin aku hapus, tapi aku menulisnya kembali. Kali ini bukan tentang kau dan aku.
Biarlah ini hanya tentang aku dan kenanganku.
Karena tak selalu cerita indah berakhir dengan kebersamaan.

Rabu, 26 Februari 2014



Kemarin aku sangat beruntung, banyak hal yang datang melampaui harapanku. Jadi hari ini aku menggantungkan harapan setinggi hasil yang kudapat kemarin. Namun yang terjadi malah jauh dibawah apa yang kutargetkan.

Dan aku menyadari satu hal. Manusia tak selamanya beruntung, namun juga manusia tak selalu tak beruntung. Aku berhak menggantungkan cita-citaku setinggi langit. Bermimpi ke ujung dunia dan meraih bintang yang paling terang. Namun harus siap gagal dan jatuh ke jurang yang paling dalam.

Aku tak berharap hidupku seperti Cinderella yang merubah nasib hanya dengan sepatu kaca. Aku hanya berharap selalu ada tangga-tangga kecil untuk dapat kupijak naik.

Wahai Kau Pencipta Semesta, aku hanyalah makhluk biasa yang berpegang pada tongkat yang kunamakan harapan. Janganlah terbangkan aku jika harus jatuh suatu hari. Biarlah kudaki tangga-tangga kecilmu dengan tongkat yang kupunya. Aku hanya tak ingin kecewa. Karena kekecewaan berasal hanya dari pengharapan yang terlalu tinggi, bukan capaian yang terlalu rendah.